MLM, Antara Harapan dan Realitas

BISNIS multi level marketing (MLM) begitu marak di tengah masyarakat. Karena menawarkan berbagai reward dan income yang lebih tinggi daripada bisnis konvensional, bisnis MLM hadir dengan wajah menggiurkan. Bagaimana realitasnya?

Ide network marketing pada mulanya muncul di Amerika sekira tahun 1930-an. Pada saat itu terjadi resesi, sehingga pabrik-pabrik hanya mampu memproduksi barang, namun tidak mampu mendistribusikan dan mempromosikannya. Ide “konsumen sekaligus distributor dan promotor” akhirnya muncul.


Sejatinya, MLM adalah sebuah metode pemasaran yang menerapkan efisiensi, karena biaya distribusi dan promosi dipotong. Katanya, banyak nilai plus dalam bisnis ini. Modal tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan hasil yang akan didapat jika pandai membangun jaringan. Nantinya akan disebut dengan istilah “uang yang bekerja untuk kita”. MLM menjanjikan kebebasan waktu, keringanan tanggung jawab, dengan modal, keahlian dan tingkat pendidikan yang relatif minim. Benarkah sedahsyat itu?

“Secara konsep, MLM itu sebenarnya bagus, karena hukum ekonomi ‘dengan modal kecil, dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin’ bisa terwujud,” ujar Bambang Jasnanto, pengusaha dan dosen UPI, dalam seminar kewirausahaan dan pengembangan diri dengan Neuro Linguistic Program (NLP) bertajuk “Menggugat MLM Secara Ilmiah dan Objektif Serta Studi Analisis Kelayakan Suatu Bisnis”, yang diselenggarakan oleh BEM Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ekonomi (Himajupe) UPI bekerja sama dengan Life Control, Minggu (8/1) di Auditorium PKM UPI, Bandung.

Namun, menurut Bambang, cukup banyak realitas yang dijumpai di dunia bisnis MLM, yang layak untuk digugat. Sangat kecil masyarakat yang sukses, sedangkan sisanya kebanyakan “trauma”. “Tak heran, MLM punya singkatan lain yaitu ‘menipu lewat menjual’ atau ‘masuk langsung mati’,” kata Bambang, yang disambut tawa peserta seminar.

Banyak perusahaan MLM yang menggembar-gemborkan kehebatan perusahaan, yang tidak lebih dari brainwashing. “Yang memengaruhi bonus itu marketing plan, bukan besar kecil perusahaan,” tukas Bambang.

Justru di marketing plan ini, para member baru kerap belum paham benar. Pada umumnya, perusahaan MLM berasal dari luar Indonesia. Oleh karena itu marketing plan-nya kurang cocok untuk karakteristik orang Indonesia. MLM umumnya dikonsep sebagai “pola investasi” untuk masyarakat ekonomi maju, di mana warga negara yang menganggur saja mendapat dana sosial. Sedangkan orang Indonesia yang mengikuti MLM, kebanyakan bertujuan sebagai “solusi finansial” yang ingin cepat dapat hasil. “Terkadang sampai utang sana-sini untuk modal awal,” ujar Bambang.

Marketing plan yang rumit serta iming-iming berupa peringkat dan reward yang menggiurkan seperti, mobil mewah, rumah mewah, dsb., kerap membungkus jumlah bonus yang sesungguhnya didapat oleh member. Banyak biaya harus keluar untuk operasional atau atas nama persyaratan, yang sebenarnya tidak realistis. Misalnya, harus tutup poin/belanja ulang tiap bulan. Jika tidak, maka bonus tidak keluar. “Member kerja dan keluar uang, sedangkan perusahaan dapat untung. Fair tidak tuh?” ungkap Bambang, yang direspons gelengan kepala para peserta.

Reward pada hakikatnya adalah hasil keringat member sendiri yang pemberiannya ditunda. Bukan “hadiah cuma-cuma” dari perusahaan. Hal ini yang patut diwaspadai, karena seringnya merugikan member, sedangkan perusahaan untung besar. Ketika ujung-ujungnya, member tidak berhasil mendapat reward karena berbagai alasan, misalnya kelelahan atau jaringan rontok, maka ketidakberhasilan tersebut biasanya dialamatkan pada “tidak fokus” atau “kurang kerja keras”. “Padahal, itu karena perusahaan yang tidak fair. Masyarakat selama ini memperebutkan kembang gula padahal isinya racun,” tandas Bambang.

Sekarang pertanyaannya, adakah MLM yang antara harapan dan realitas cukup mendekati? Bambang merekomendasikan 4 pertanyaan, semisal “berapa dibayar?”, “kapan dibayar?”, “bagaimana dibayar?”, “seberapa transparan perusahaan?”, yang harus dianalisis oleh peminat MLM untuk mengetahui probabilitas keberhasilan. “Jika ingin ikut MLM, ikutlah secara cerdas dengan menganalisis dahulu. Semakin besar bonus, cepat dibayar, tidak rumit, dan tidak ada syarat apa pun kecuali kerja, MLM tersebut masih layak dikerjakan,” tegasnya.

Selain membahas tentang MLM, dalam seminar tersebut juga dibahas mengenai cara meraih kesuksesan lewat metode yang populer di dunia yaitu Neuro Linguistic Program (NLP). Menurut Anthony Robbins dalam bukunya Unlimited Power, NLP adalah studi mengenai bahasa, baik verbal maupun non-verbal yang memengaruhi sistem saraf, yang memungkinkan orang “memprogram kembali” diri mereka agar dapat mengganti pola perilaku yang jelek, dengan pola yang lebih berguna.

“Kebanyakan orang besar yang ada di dunia ini, punya keinginan dan keyakinan diri yang besar. Kalau terhadap diri sendiri, kita sudah menganggap tidak mampu melakukan sesuatu, sampai kapan pun tidak akan mampu,” papar Yudho Purwoko, pengusaha dan trainer NLP, dalam seminar tersebut.

Selain itu, Yudho juga menjelaskan tentang keterkaitan antara emosi dan gerakan tubuh, yang dikenal dalam istilah emotion create motion atau motion create emotion. “Emosi yang negatif akan menciptakan racun secara otomatis. Sedangkan keriangan akan menumbuhkan antibodi yang membuat badan menjadi sehat,” kata Yudho.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2 Rahasia Besar Dibalik Sukses Bisnis Online

5 Buku Strategi Terbaik Sepanjang Masa